WHY TO MOVE
>> Selasa, 11 November 2008
Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering
ngedumel)? Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul
Azim Premji, "Bill Gates" dari India (terbitan Mizania 2007).
Azim Premji adalah milyuner muslim dari India yang telah menyulap Wipro,
dari sebuah perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi perusahaan dengan
salah satunya adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon kebangkitan
industri teknologi informasi di India. Dia urutan ke-21 orang terkaya di
dunia versi Forbes 2007. Azim dikenal sebagai milyuner yang bergaya hidup
sederhana.
Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan tidak betah
dengan perusahaan. Wipro sendiri memiliki tinkat turn-over (kepindahan)
karyawan yang sangat rendah, padahal gajinya tidak lebih tinggi dibandingkan
perusahaan sejenis seperti Infosys dan TCS.
Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan?
Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian
karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang meninggalkan
perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih menjanjikan,
lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini
mencoba menjelaskan persoalan ini.
Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer software
senior, mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan internasional prestisius
untuk bekerja di cabang operasinya di India sebagai pengembang software. Dia
tergetar oleh tawaran itu. Sanjay telah mendengar banyak tentang CEO
perusahaan ini, pria karismatik yang sering dikutip di berita-berita bisnis
karena sikap visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu memiliki kebijakan
SDM ramah karyawan yang bagus, kantor yang masih baru, dan teknologi
mutakhir, bahkan sebuah kantin yang menyediakan makanan lezat.
Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri
untuk pelatihan. "Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru",
katanya tak lama setelah bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang hebat
dengan teknologi mutakhir. Ternyata, kurang dari delapan bulan setelah dia
bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya tawaran lain di
tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana lagi. Beberapa
orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru ini.
Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia pusing
akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung karena tidak
tahu apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya
besar ? Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang mendorong banyak
orang berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah satu penelitian
terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organization. Penelitian ini menyurvei
lebih dari satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer, lalu
dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break All the Rules.
Penemuannya adalah sebagai berikut:
Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah atasan
langsung/tertinggi di departemen mereka. Lebih dari alasan apapun, dia
adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia adalah
alasan mengapa mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan relasi
bersama mereka. Biasanya langsung ke pesaing. Orang meninggalkan
manajer/direktur anda, bukan perusahaan, tulis Marcus Buckingham dan Curt
Hoffman penulis buku First Break All the Rules.
Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan
mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar,
fasilitas dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya, penyebab
kebanyakan orang keluar adalah manajer. Kalau Anda punya masalah pergantian
karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer/direktur Anda terlebih dahulu.
Apakah mereka membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi, kebutuhan utama
seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih terkait dengan
bagaimana dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan hal ini bergantung
langsung dengan manajer di atasnya.
Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang yang
bagus. Sebuah survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan bahwa
hampir 75 persen karyawan telah menderita di tangan para atasan yang sulit.
Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan yang
paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional dan
produktivitas karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk
tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang paling
tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan mungkin tidak
pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Pada saat yang
kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang ketiga kalinya, dia mulai mencari
pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas kemarahan secara
terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan
membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang diperintahkan
saja dan tidak memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan informasi yang
krusial kepada sang bos.
Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan yang
tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah. Anda
tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer bisa membuat
karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu mengontrol,
terlalu curiga, terlalu mencampuri, sok tahu, juga terlalu mengecam. Mereka
lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka adalah agen bebas. Jika
hal ini berlangsung terlalu lama, seorang karyawan akan berhenti - biasanya
karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan ke-100 yang merobohkan
seorang yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan meskipun benar bahwa
orang meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk kesempatan yang
lebih baik atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa saja
bertahan, kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka,
seperti yang dilakukan bos Sanjay: Kamu tidak penting. Saya bisa mencari
puluhan orang seperti kamu.
Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat
biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari
penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki
seseorang untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan klien
dan relasi yang telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril sejawat
kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang mungkin sekarang dibocorkan
oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu saja, kehilangan
reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah korporasi akan
menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan.
Demikian pesan Azim Premji. Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun
atasan) ?
0 komentar:
Posting Komentar